Arsip Kategori: Artikel

PATRIOTISME-RELIGIUS; JIWA PERANG ACEH YANG MELEGENDA

Pada tahun 1869 terusan Suez dibuka. Terusan yang terletak di Mesir ini dibangun atas prakarsa seorang insinyur Perancis, Ferdinan Vicomte de Lesseps. Dengan dibukanya Terusan Suez, maka jalur perdagangan Eropa – Asia atau sebaliknya dapat dipersingkat, jalan niaga antara wilayah-wilayah di Nusantara (Indonesia) dengan Timur Tengah semakin dekat. Kedudukan Selat Malaka pun sebagai jalur pelayaran dan perdagangan internasional menjadi sangat strategis (Oktarino; 2018 : 13). Kerajaan Aceh yang berada di ujung barat Pulau Sumatera dan menjadi gerbang Selat Malaka, memiliki posisi yang sangat penting. Akibatnya Aceh menjadi incaran bangsa-bangsa Imprealis terutama Inggris dan Belanda yang berambisi memonopoli perdagangan di kawasan tersebut.

Pada awalnya posisi Aceh bisa dikatakan aman. Hal ini sesuai dengan hasil perjanjian London yang ditandatangani oleh Inggris dan Belanda pada bulan Maret 1824. Perjanjian London mengatur pembagian wilayah jajahan antara Belanda dan Inggris. Inggris mendapatkan dominasinya di Semenanjung Malaya sementara Belanda di Sumatera. Kedua belah pihak sepakat untuk menjamin kemerdekaan Aceh (Ricklefs; 1998 : 217). Akan tetapi konstelasi politik berubah, persaingan di Selat Malaka semakin meruncing. Inggris mengambil keputusan akan lebih baik membiarkan Belanda menguasai Aceh daripada negara yang lebih kuat seperti Perancis atau Amerika yang juga sudah eksis di Selat Malaka. Pada tahun 1871 Belanda dan Inggris mencapai persetujuan dan menandatangani suatu perjanjian yang disebut Traktat Sumatera. Menurut perjanjian ini Belanda diberi kebebasan untuk mengadakan perluasan kekuasaan di seluruh Sumatera, termasuk ke Aceh yang selama ini tidak boleh diganggu kedaulatannya (Poesponegoro; 1990 : 242). Sejak saat itu kemerdekaan Aceh terancam.

Bermodalkan Traktat Sumatera, Belanda dengan percaya diri mempermaklumkan perang terhadap Aceh dengan mengirimkan pasukan untuk menaklukkan Aceh pada tahun 1873. Sejak saat itu Perang Aceh dimulai dan tidak pernah benar-benar selesai hingga Belanda ditarik dari Aceh menyusul kekalahannya atas Jepang pada tahun 1942 (Suryanegara; 2009 : 263). Perlawanan rakyat Aceh bisa jadi merupakan perlawanan yang paling lama dan paling merepotkan kolonialis Belanda. Dilihat dari dana yang dikeluarkan, waktu yang digunakan, maupun banyaknya korban jiwa. Bukan  hanya prajurit biasa, bahkan  dua panglima tertinggi Belanda, yaitu Johan Harmen Rudolf Kohler dan Johannes Ludovicius Jakobus Hubertus Pel, meninggal dalam tugasnya di Aceh. Perang Aceh menyisakan trauma yang mendalam bagi Belanda. Faktanya, ketika Perang Dunia II berakhir dan Belanda kembali ke  Indonesia, Aceh adalah satu-satunya keresidenan yang mereka tidak coba untuk memasukinya (Ricklefs; 1998 : 222).

Bukan itu saja, Perang Aceh ternyata menjadi isu internasional terutama di kalangan negara-negara yang berpenduduk Muslim. Pecahnya Perang Aceh menimbulkan kehebohan besar di dunia Islam. Kaum Muslimin melihatnya sebagai peristiwa yang memberikan harapan bagi dunia Islam (Vlekke; 2017 : 304). Perang Aceh semakin melegenda ketika mufti Mekah, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan atas permintaan orang-orang Aceh yang tinggal di Mekah, mengeluarkan fatwa yang isinya jihad melawan Belanda adalah wajib (Oktorino; 2018 : 82).

Perlawanan rakyat Aceh mendapat legitimasi kuat, perang sabil yang oleh orang Aceh menyebutnya “prang sabi” menjadi ikon sekaligus penyemangat utama. Babak baru ini ditandai dengan tampilnya ulama menjadi pemimpin perlawanan, satu di antarnya adalah Teuku Cik Di Tiro. Peperangan tidak lagi sekedar mempertahankan tanah air dari kerakusan kaum penjajah. Tetapi juga dianggap sebagai perang di jalan Allah, mempertahankan agama.  Belanda disifati sebagai orang kafir, sehingga perang melawan Belanda statusnya sama dengan perang membela agama Allah.  Gugur dalam peperangan dianggap mati syahid, sesuatu yang banyak dicita-citakan oleh kaum Muslim. Untuk memperkuat semangat perang sabil, Tengku Haji Muhammad Pante, seorang pengikut Teuku Cik Di Tiro membagikan sebuah karya yang berjudul Hikayat Prang Sabi. Karya ini dibacakan oleh ulama di tempat orang-orang berkumpul, dan terbukti sangat efektif membangkitkan semangat perlawanan (Oktorino; 2018 : 69).

G.B. Hooijer, seorang purnawirawan tentara Belanda yang pernah bertugas di Aceh, menceritakan kesaksiannya tentang Perang Aceh, dia mengatakan :

Tidak ada pasukan Diponegoro atau Sentot, baik orang-orang Padri yang fanatik maupun rombongan orang-orang Bali atau massa berkuda orang-orang Bone, seperti yang pernah diperagakan oleh para pejuang Aceh yang begitu berani dan tak takut mati menghadapi serangan, yang begitu besar menaruh kepercayaan pada diri sendiri, yang sedemikian gigih menerima nasibnya, yang cinta kemerdekaan, yang bersikap sedemikian fanatik seolah-olah mereka dilahirkan untuk menjadi gerilyawan bangsanya (https://id.wikipedia.org)

Lebih lanjut, Hooijer mengatakan :

….dari semua pemimpin peperangan kita yang pernah bertempur di setiap pelosok kepulauan kita ini, kita mendengar bahwa tidak ada satu bangsa yang begitu gagah berani dan fanatik dalam peperangan kecuali bangsa Aceh; wanita-wanitanya pun mempunyai keberanian dan kerelaan berkorban yang jauh melebihi wanita-wanita lain (https://id.wikipedia.org).

 Tentang militansi kaum perempuan, kita bisa bercermin dari sikap Cut Nyak Dien. Ketika Teuku Umar gugur diterjang peluruh Belanda, sang anak, Cut Gambang menangisi ayahnya. Cut Nyak Dien menghardiknya lalu berkata : “Kita perempuan seharusnya tidak menangis di hadapan mereka yang telah syahid” (https://id.wikipedia.org). Cut Nyak Dien kemudian tampil mengambil alih pimpinan perlawanan menggantikan suaminya hingga akhirnya tertangkap pada tahun 1904. Cut Nyak Dien bukanlah satu-satunya perempuan yang terlibat langsung di medan perang. Cut Nyak Meutia juga mencatatkan namanya sebagai perempuan perkasa yang kepahlawanannya patut dikenang dan diwariskan kepada generasi penerus. Perempuan mulia ini gugur di medan perang saat bentrok dengan pasukan elit Belanda, Marechausée di Alue Kurieng bulan Oktober 1910.

Di luar perkiraan Pemerintah Hindia Belanda, Perang Aceh ternyata berlangsung lama dengan korban yang semakin banyak ditambah dengan besarnya biaya perang yang menguras keuangan negara. Selama 15 tahun berlangsung, Perang Aceh telah menghabiskan dana sekitar 200 juta Gulden dan kehilangan 1.280 orang pasukan yang terbunuh serta 5.287 orang yang terluka (Oktorino; 2018 : 81). Jelas bahwa dibutuhkan strategi baru selain pendekatan militer untuk segera menghentikan perang.

Belanda mulai menyadari bahwa Perang Aceh erat hubungannya dengan Islam, karena itu penelitian mendalam tentang Islam dan masyarakat Aceh diperlukan. Snouck Hurgronye, Profesor Studi Islam di Universitas Leiden dikirim ke Aceh untuk mengadakan studi menyeluruh tentang negeri dan orang Aceh. Pilihan ini sangat tepat mengingat reputasinya sebagai peneliti yang pernah tinggal di Mekkah dengan tugas dari Pemerintah Belanda untuk mempelajari masalah Islam khususnya mengenai jamaah Haji.

Snouck Hurgronye menjalankan tugasnya dengan baik. Selama di Aceh dia menghabiskan waktunya untuk menyelidiki perilaku, bahasa, serta pranata-pranata politik dan religius orang Aceh. Dari hasil studinya selama di Aceh Hurgronye kemudian memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Hindia Belanda. Dalam laporannya, dia berkesimpulan bahwa adat dan Islam merupakan dua domain yang berbeda dan terpisah, dalam ranah budaya, sosial, dan politik. Bahkan hubungan adat dan Islam memperlihatkan ketegangan dan konflik (Burhanuddin; 2017 : 296). Untuk melemahkan orang-orang Aceh maka kedua kelompok ini harus dibenturkan.   Dalam masyarakat Aceh, kalangan adat diwakili oleh kelompok Uleebalang dan kelompok ulama sebagai refresentasi kalangan Islam.

Hurgronye merekomendasikan kepada pemerintah kolonial untuk menggandeng kelompok uleebalang, memberi mereka penghargaan sehingga bersedia menerima kekuasaan Belanda. Sedangkan terhadap ulama, dia berpendirian bahwa peperangan harus terus dilakukan untuk memukul mundur mereka ke daerah-daerah terpencil di pedalaman (Burhanuddin; 2017 : 296). Kebijakan belah bambu Belanda segera menggerogoti perlawanan orang Aceh. Hurgronye bukan hanya mendesak pimpinan Belanda untuk memperlebar jurang antara para pemimpin adat dan pemimpin agama, tetapi juga menciptakan konflik antar ulama di Aceh (Oktarino; 2017 : 87). Politik de vide et impera atau adu domba ini berjalan dengan efektif, perlawanan rakyat mulai melemah. Konflik yang disulut pemerintah kolonial bahkan berlanjut hingga Belanda meninggalkan Aceh. Ketika itu para ulama bangkit dan menyerang uleebalang yang selama ini bekerja sama dengan Belanda, banyak di antaranya yang terbunuh (Vlekke; 2017 : 306).

Meskipun perlawanan Aceh melemah, akan tetapi  Aceh tidak pernah benar-benar tunduk kepada Belanda.  Jiwa patriotisme yang dipadu dengan semangat keberagamaan (religius) benar-benar menjadi faktor pendorong dan penggerak perlawanan. Di satu sisi rakyat Aceh tidak rela kemerdekaannya dirampas oleh siapapun. Di sisi lain, melawan penindasan diterjemahkan sebagai bagian dari jihad fisabilillah yang diperintahkan oleh agama yang dianutnya, Islam. Tidak meragukan lagi bahwa Perang Aceh mengajarkan kepada kita bahwa paduan cinta tanah air (patriotisme) dengan semangat keberagamaan (religiusitas) merupakan daya dorong yang sangat kuat dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai inilah yang sepatutnya diwarisi oleh generasi sekarang dan yang akan datang sebagai bekal dalam melanjutkan pembangunan bangsa.

Daftar Pustaka

  1. Buku :

Burhanuddin, Jajat. 2017. Islam Dalam Arus Sejarah Indonesia. Jakarta: Kencana

Oktarino, Nino. 2018. Perang Terlama Belanda; Kisah Perang Aceh 1873-1913. Jakarta: PT Elex Media Komputindo

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka.

Ricklefs, M. C. 1998. Sejarah Indonesia Modern. Diterjemahkan oleh Drs. Dharmono Hardjowidjono. Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Suryanegara, Ahmad Mansyur. 2009. Api Sejarah. Bandung: Salamadani Pustaka Semesta

Vlekke, Bernard H. M. 2017. Nusantara; Sejarah Indonesia. Diterjemahkan oleh Samsuddin Berlian. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

 

  1. Internet :

https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Aceh

https://www.merdeka.com/peristiwa/heroisme-cut-nyak-dhien-ratu-perang-aceh-bikin-hati-bergetar/murka-melihat-masjid-dibakar-belanda.html

Apa Beda Sistem e-Sabak dan Buku Sekolah Elektronik?

e_sabakJakarta – Pemerintah berencana mengadopsi teknologi digital dalam proses pembelajaran siswa di sekolah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) sedang menggarap sistem pembelajaran baru yang akan menggunakan perangkat tablet sebagai pengganti buku pelajaran yang disebut e-Sabak.

Sebelumnya, pemerintah juga telah mengadopsi teknologi untuk penyediaan buku bahan ajar di sekolah dengan ‘Buku Sekolah Elektronik’. Lantas apa perbedaan kedua konsep penyediaan bahan ajar untuk sekolah tersebut?

“Kalau buku sekolah elektronik itu konsepnya buku biasa dibuat bisa dicetak oleh siapa dan dimana saja, tapi bentuknya tetap seperti buku cetak biasa. Kalau e-Sabak bentuknya di tablet jadi bisa lebih interaktif materi belajarnya,” jelas Anies Baswedan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud).

Pembelajaran interaktif yang diharapkan Anies bisa terjadi di kelas akan didukung melalui materi online yang disertakan dalam bahan ajar dalam buku pelajaran. Jadi, kemungkinan buku pelajaran yang disematkan di tablet e-Sabak sudah berupa aplikasi mobile.

“Karena bentuknya digital akan lebih mudah membuat model interaksi yang diterapkan dalam e-Sabak. Kalau dulu materi interaktifnya ditentukan hilir nanti materinya kita sediakan, jadi mau di kota sama di daerah kualitas materinya sama,” tambah Anies.

Soal pembuatan materi ajar yang disediakan dalam bentuk digital, yang akan bertanggung jawab ialah Telkom sebagai rekanan Kemdikbud. Perusahaan pelat merah itu mengaku siap untuk menyediakan tenaga mengubah materi offline dari Kemdikbud dalam bentuk online dan interaktif.

“Telkom nanti yang akan mengubah materi ajarnya jadi online, tapi materi berbentuk offline itu semuanya disediakan Kemendikbud karena mereka yang punya. Kita sudah punya tim yang memang terbiasa menangani urusan kaya gitu,” papar Muhammad Awaluddin, Director of Enterprise and Business Service Telkom.

Pilihan mengganti buku pelajaran dengan bentuk digital lewat e-sabak diharapkan akan membantu pelajar di daerah terdepan, terluar dan terpencil (3T) agar bisa lebih mudah mendapatkan bahan ajar. Sulitnya medan dan akses menuju daerah 3T diharapkan akan bisa ditanggulangi dengan konsep e-Sabak.

Fokus utama penerapan sistem pendidikan memakai e-Savak ialah daerah perbatasan seperti di Kalimantan, Papua dan Nusa Tenggara yang memang diketahui punya lokasi daratan sebagai perbatasan dengan negara tetangga.

(den/dew)

Sumber : http://tekno.liputan6.com/

Kerusakan Multidimensional Kebijakan UN

Oleh: Doni Koesoema A.

 

Kebijakan Ujian Nasional (UN) yang telah dimulai satu dasawarsa lalu ternyata telah terbukti tidak dapat meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Dampak-dampak merusak selama 10 tahun penyelenggaraan kebijakan Ujian Nasional telah menjadi bukti bahwa UN tidak efektif, melenceng dari tujuan semula, dan tidak membawa manfaat bagi kemajuan bangsa ini. Karena itu, Ujian Nasional harus dihentikan.

Artikel ini mengulas 13 dampak kerusakan multidimensional akibat kebijakan UN yang menghancurkan sendi-sendi pendidikan nasional, bukan hanya sampai level kebijakan di unit sekolah, melainkan juga sampai pada kehancuran moral, psikologis, pedagogis, finansial, para pemangku kepentingan pendidikan, terutama siswa, guru, orang tua, dan masyarakat pada umumnya. 13 dimensi kerusakan akibat kebijakan UN adalah sebagai berikut.

1. Dimensi Pendidikan Berkeadilan.

Ujian Nasional telah mengabaikan hak warga negara untuk menerima pendidikan yang berkeadilan, bahkan melanggengkan praktik ketidakadilan ini secara terstruktur dan sistematis. Dengan demikian, kebijakan UN juga inkonstitusional karena melanggar sila kelima Pancasila.  Laporan terbaru dari pemerintah menyebutkan bahwa dari segi sarana dan prasarana masih ada 80% sekolah berada di bawah standard pendidikan nasional. Masih ada perbedaan kualitas guru antara di kota besar, dan di pedalaman. Ini mengakibatkan perbedaan kualitas pengalaman belajar. Siswa yang memiliki pengalaman belajar, sarana, prasarana, budaya dan kualitas guru yang berbeda namun mereka dipaksa melakukan sebuah ujian dengan standard yang sama melalui UN, merupakan sebuah perlakuan tidak adil. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak, dan negara harus menyediakannya. Hak-hak asasi warga negara untuk memperoleh keadilan dalam pendidikan inilah inilah yang dirampas dan dirusak melalui Ujian Nasional.

2. Dimensi Penghayatan Moral (systemic demoralization)

Kebijakan UN yang bersifat high-stakes (memiliki konsekuensi fundamental bagi hidup siswa, menilai kelulusan) di tengah ketidakadilan dan desifit standard nasional pendidikan, telah memaksa guru, kepala sekolah, dan pejabat pendidikan melanggar norma-norma moral. Prinsip moral yang mengutamakan penghargaan terhadap individu sebagai pribadi yang unik, berharga, tidak boleh diobjektivasi, dimanipulasi, diperalat, dan tidak boleh dirusak, telah dilanggar melalui kebijakan UN. Siswa, guru, dan sekolah menjadi objek bagi kebijakan politik pendidikan. Penghargaan terhadap kemartabatan manusia hilang. Dalam situasi panik ketidakadilan, kebijakan UN telah memaksa para pendidik untuk melanggar norma-norma moral (pencurian soal-soal UN, membocorkan soal, pencontekan terstruktur dan sistematis). UN telah membuat sekolah sebagai komunitas yang menumbuhkan kehidupan bermoral tidak terjadi, malah sebaliknya, tekanan yang berat melahirkan demoralisasi sistemik dalam dunia pendidikan. Sekolah tidak menjadi tempat pembentukan karakter yang menumbuhkan dan memperkuat kualitas individu.

3. Dimensi penghargaan terhadap individu.

UN sebagai ujian standar yang dilakukan sebagai sebuah pemaksaan (mandatory), melanggar kebebasan individu siswa. UN tidak menyisakan ruang bagi pilihan-pilihan bebas dalam rangka memperoleh hak-hak mereka atas pendidikan yang layak dan pantas bagi kemanusiaan. Dalam sebuah ujian yang memiliki dampak penting dan fundamental bagi kehidupan siswa di masa depan, pemaksaan ujian merupakan pelanggaran atas hak-hak individu. Individu perlu dimintakan persetujuannya sebelum sebuah intervensi pendidikan berisiko tinggi diterapkan padanya. Dirampasnya kebebasan individu melalui pemaksaan UN berdampak pada tidak dihargainya harkat dan martabat individu yang bebas, dan berhak memperoleh perlakuan yang pantas dan manusiawi terhadap kebijakan apapun yang memengaruhi kehidupannya secara mendasar.

4. Dimensi Pembelajaran (learning).

Ujian Nasional yang menentukan kelulusan siswa mengeringkan dimensi pembelajaran yang semestinya otentik, menggairahkan, menumbuhkan, melahirkan kreativitas dan inovasi. Dengan adanya kebijakan UN, pembelajaran hanya bersifat mekanis, model soal pilihan ganda UN mereduksi pembelajaran sekedar pada kemampuan berpikir tingkat rendah (hafalan). Semangat belajar juga menurun karena pengalaman dari tahun demi tahun terbukti bahwa kelulusan setiap sekolah hampir mendekati 98%, sehingga siswa enggan belajar, toh pasti luus. Ini terjadi karena budaya katrol nilai (di tingkat pusat dan lokal sekolah). Sistem penilaian UN yang 40 % ditentukan sekolah membuat sekolah memanfaatkan ruang 40% sebagai satu-satunya cara untuk mendongkrak nilai siswa. Dalam nilai ujian akhir sekolah, siswa sudah tahu nilainya pasti baik. Ini membuat suasana belajar otentik yang mestinya hadir di sekolah tidak terjadi. Motivasi belajar menjadi rusak.

5. Dimensi Pengajaran (teaching).

Kebijakan UN juga telah memengaruhi bagaimana cara guru mengajar. Terjadi pengeringan proses pengajaran. Guru hanya mengajar siswa agar berhasil mengerjakan tes melalui drill dan pembiasaan dengan soal-soal UN. Materi yang dipelajari pun hanya materi yang akan keluar di UN, sementara materi lain yang tidak ada dalam kisi-kisi, meskipun penting, dilewati. Siswa hanya diajar bagaimana strategi menyelesaikan soal secara cepat, tanpa perlu mengetahui prosesnya. Kegiatan pengajaran yang mestinya inspiratif dan ekploratif digantikan dengan kegiatan menghafal melalui try out dan drill latihan soal berulang-ulang. Pengajaran tereduksi menjadi pengajaran yang berkualitas rendah, kering, dan memandulkan kreativitas. Guru menjadi seperti robot. Ia tidak bisa berkreasi, karena tuntutan publik untuk meluluskan semua siswa dalam UN. Dimensi pengajaran menjadi kering kerontang yang berdampak pada hilangnya gairah, semangat dan motivasi guru sebagai agen pembelajar.

6. Dimensi Pengembangan Kultur Sekolah (school culture).

Kultur pendidikan yang menumbuhkan, menghargai kerjasama, merawat satu sama lain dalam rangka pelayanan pendidikan menjadi hilang. Kebijakan katrol nilai atau menggelembungkan nilai sekolah menjadi kebiasaan untuk mengantisipasi nilai UN siswa sehingga siswa tetap bisa lulus. Ini belum ditambah dengan strategi pencontekan terstruktur oleh tim sukses UN sekolah. Guru yang telah mendampingi siswa dengan penuh jerih payah seringkali terpaksa mengingkari nuraninya karena dipaksa kepala sekolah untuk mengubah nilai-nilai siswa tertentu. Terjadi ketidakadilan, pemaksaan, dan penekanan terhadap guru dari otoritas sekolah demi UN. Kebijakan UN juga memaksa sekolah memberikan prioritas pembelajaran pada pelajaran tertentu. Akibatnya, siswa meremehkan pelajaran yang non-UN. Guru yang mata pelajarannya tidak di-UN kan seringkali merasa diabaikan siswa karena dianggap tidak penting. Guru-guru Non-UN mengalami demotivasi, semantara kebijakan UN memecah belah kolegialitas guru. Kultur sekolah sebagai komunitas moral yang menumbuhkan menjadi rusak melalui kebijakan politik pendidikan belah bambu ala UN. UN telah membuat kultur moral sekolah rusak.

7. Dimensi Hegemoni Kekuasaan (state apparatus empowerment).

Ujian Nasional telah membuka kesempatan bagi penyalahgunaan kewenangan penguasa dan pejabat pemerintahan. Ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa kebijakan UN memaksa para kepala dinas untuk memaksa kepala sekolah melakukan tindakan-tindakan curang agar hasil UN di daerahnya naik. Kepala Dinas yang mestinya berkomitmen pada pengembangan dan pengawasan pendidikan di lingkungannya menjadi rusak moralnya. Kalangan akademisi yang masuk dalam pusara lingkungan kekuasaan menjadi mandul nuraninya, turun derajatnya sekedar menjadi corong pembenaran perilaku penguasa yang tidak bermoral, hilang integritas moralnya sebagai akademisi ketika membiarkan dan melegitimasi sebuah kebijakan yang secara moral maupun profesional tidak dapat dibenarkan. Usaha pemerintah untuk memberdayakan aparatur negara sebagai insan yang melayani rakyat menjadi sia-sia, malahan rusak.

8. Dimensi Pemberdayaan Masyarakat

Ujian Nasional telah mengadu dua kekuatan masyarakat, guru-guru, guru-masyarakat, masyarakat-masyarakat dalam rangka pengembangan pendidikan nasional. Terjadi kecemburuan sosial antara guru yang mengajar matapelajaran yang di-UN-kan dengan yang tidak. Guru dibenturkan dengan peran serta masyarakat melalui kehadiran lembaga bimbingan belajar yang menerobos masuk ke sekolah menggantikan peran guru. Jika kehadiran lembaga bimbingan belajar di sekolah bersifat lelahanan, alias gratis, tentu tidak masalah. Namun, untuk layanan pendidikan yang sudah menjadi hak siswa ini, siswa dan orangtua masih dikenakan biaya. Sekolah menjadi ladang perebutan bisnis untuk mengisi kantong orang-orang tertentu yang memiliki kewenangan pengelolaan pendidikan. Orangtua harus mengeluarkan biaya tinggi demi persiapan UN. Selain itu, UN telah memecahbelah kesatuan orangtua. Kasus Ibu Siami yang disingkirkan oleh sekolah dan didukung oleh orangtua siswa lain yang dirugikan karena laporan kecurangan yang diadukan Alif, anaknya, menunjukkan bahwa UN telah melumpuhkan soliditas antar warga, bahkan mendemoralisasi orangtua secara sistematis. Masyarakat menjadi sakit moral! Mereka tidak lagi dapat membedakan mana yang baik mana yang buruk. UN telah memecahbelah kekuatan masyarakat dalam mencerdaskan bangsa.

9. Dimensi Finansial Masyarakat.

Hajatan Ujian Nasional telah memaksa orang tua mengeluarkan biaya tambahan untuk persiapan UN, mulai dari uang untuk membeli materi pelajaran persiapan UN, try out, membayar lembaga bimbingan belajar, kalau perlu membayar untuk membeli bocoran soal. Secara anggaran, masyarakat dirugikan dengan besarnya biaya UN, yang dihambur-hamburkan demi sebuah kebijakan pendidikan yang tidak terbukti meningkatkan kualitas pendidikan nasional.

10. Kriminalisasi pendidik

Ujian Nasional telah mengkriminalisasi pendidik, dan menganggap mereka sebagai teroris ketika densus 88, polisi, juga diterjunkan untuk mengawasi keseluruhan proses UN sampai tingkat unit sekolah. Sekolah menjadi lingkungan yang tidak ramah bagi para pendidik dan siswa. Pendidik selalu dicurigai dan diawasi kegiatannya menjelang UN. Ada guru dan kepala sekolah yang ditangkap karena mencuri bocoran soal, membocorkan soal, dll. Kriminalisasi pendidik merupakan salah satu dampak nyata adanya kebijakan UN.

11. Dimensi Pencitraan Pendidikan

Selama 10 tahun, kualitas pendidikan di Indonesia selalu jeblok dalam rangka evaluasi pendidikan di level internasional. Ini akan semakin mencoreng muka bangsa Indonesia, karena kualitas pendidikan yang buruk ini terekspose secara global dari tahun ke tahun, dan tidak ada usaha dari pemerintah untuk memperbaiki buruknya kualitas pendidikan kita di level internasional dan global. Ujian Nasional telah merusak citra pendidikan di Indonesia dalam setiap ujian di tingkat internasional.

12. Dimensi Evaluasi dan Pengukuran

Validitas kualitas soal-soal dalam UN tidak dapat dipertanggungjawabkan. Ini terjadi karena tidak ada akuntabilitas atas kualitas soal-soal yang akan diujikan dalam UN. Pelaksanaan yang amburadul, kebocoran terjadi di mana-mana, membuat hasil UN tidak dapat dipakai untuk menilai apa yang sesungguhnya akan dinilai. Model konstruk item soal berupa pilihan ganda menurunkan kualitas proses pembelajaran yang dinilai, karena hanya dapat memotret kemampuan berpikir tingkat rendah. Pelaksana UN (BNSP) merupakan lembaga yang tidak independen, sehingga melahirkan konflik kepentingan dan menghancurkan kredibilitas UN sendiri. Dia yang buat sendiri, menilai sendiri, dan melaporkan pada dirinya sendiri. Hasil UN secara nasional adalah sebuah kesepakatan politik! (Ingat, tahun 2004 terjadi katrol nasional). Karena itu, hasil-hasil laporan UN yang bersifat nasional, dari Sabang sampai Merauke yang melaporkan tingkat kelulusan di atas 98% merupakan laporan pendidikan yang palsu, tidak kredibel, karena fakta di lapangan menunjukkan kenyataan lain.

13. Dimensi hukum.

Ujian Nasional telah melahirkan pelanggaran hukum secara transparan dan terang-terangan kepada masyarakat Indonesia. Supremasi hukum di negeri ini diinjak-injak. Keputusan Mahkamah Agung tentang Ujian Nasional, menunjukkan bahwa pemerintah ini telah merusak tatanan hukum yang berlaku di Indonesia, dan mengajarkan pada seluruh rakyat, bahwa di negara ini, melanggar hukum adalah sah-sah saja. Bangsa ini akan hancur bila para pejabatnya menginjak-injak supremasi hukum dan tidak menghargai keadilan di negeri ini.

Tigabelas dampak kerusakan multidimensi yang terjadi akibat pelaksanaan kebijakan Ujian Nasional mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk melawan kebijakan Ujian Nasional, menghentikannya sesegera mungkin sebelum bangsa ini semakin terpuruk dalam kehancuran pendidikan yang takterpemanai. Kesimpulan saya: HENTIKAN UJIAN NASIONAL SEKARANG JUGA! ***

http://www.bincangedukasi.com/kerusakan-multidimensional-kebijakan-un.html

MEMBANGUN GOWA DENGAN KEKUATAN SEJARAH (Refleksi Hari Jadi Gowa ke 693)

Oleh : Abd. Karim Tahir

makassar1667
Makassar 1667

Henry Ford pernah berkata “ History is bunk”, sejarah itu bohong. Pendapat ini mewakili sebagian orang yang seringkali bersikap skeptis terhadap sejarah. Sejarah dianggap tidak berguna dan untuk itu tidak perlu buang-buang waktu untuk mengajarkannya. Ketika penulis mengusulkan agar sejarah lokal dimasukkan sebagai salah satu pelajaran muatan lokal di sekolah, seorang teman dengan sinis berkata, “apa tidak ada mata pelajaran yang lebih berguna?” Benarkah sejarah tidak berguna?

Bung Karno punya jawaban yang cukup menarik mengenai masalah ini. Pada peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ke VI (1951) beliau mengatakan : “Sejarah adalah berguna sekali. Dari mempelajari sejarah orang menemukan hukum-hukum yang menguasai kehidupan manusia. Salah satu hukum itu ialah: Bahwa tidak ada bangsa bisa menjadi besar zonder kerja. Terbukti dalam sejarah segala zaman, bahwa kebesaran-kebesaran dan kemakmuran tidak pernah jatuh gratis dari langit. Kebesaran bangsa dan kemakmuran selalu kristalisasi keringat. Ini adalah hukum, yang kita temukan dari mempelajari sejarah”.

Jawaban ini keluar dari mulut seorang yang bukan sekedar ahli dalam teori-teori sejarah tetapi sekaligus seorang pelaku sejarah yang sudah membuktikan betapa romantisme masa lalu, mampu membakar semangat rakyat untuk berjuang membebaskan diri dari penjajahan. Dalam konteks ini jelas sekali bahwa sejarah bukanlah masa lampau untuk masa lampau, tetapi sejarah adalah masa lampau untuk masa depan.

Dalam memperingati Hari Jadi Gowa ke 693, 17 Nopember tahun ini, masalah kesejarahan – khususnya sejarah Gowa – terasa sangat penting untuk diperbincangkan kembali. Bukan tanpa alasan, sebab Gowa adalah bekas sebuah kerajaan yang cukup berpengaruh di kawasan Timur Nusantara, bahkan sampai ke mancanegara. Dengan sejarahnya yang panjang, Gowa telah turut mengambil peran dalam percaturan politik, ekonomi dan sosial budaya di Nusantara. Dalam posisi yang demikian, sejarah Gowa sarat dengan makna hidup yang perlu diwariskan kepada generasi pelanjut.

Sejarah Gowa perlu untuk dipahami oleh setiap generasi (terutama orang-orang Gowa), guna menumbuhkan apa yang sering disebut sebagai kesadaran sejarah. Yakni sikap mental, jiwa, pemikiran yang dapat membawa untuk tetap dalam rotasi sejarah (Juraid Abdul Latief; 2001).  Sikap ini akan membuat seseorang semakin arif dan bijaksana dalam memaknai kehidupan. Dengan karateristiknya yang berorientasi pada sikap mental, semangat dan muatan moral, maka masyarakat yang memiliki kesadaran sejarah tidak akan kehilangan nilai-nilai dasar yang sangat dibutuhkan dalam membangun sebuah masyarakat.

Dengan demikian, salah satu persoalan mendasar yang perlu mendapat perhatian dari Pemerintah Kabupaten Gowa saat ini adalah bagaimana membangkitkan kesadaran sejarah itu. Mengingatkan orang-orang Gowa tentang kebesaran dan kejayaan Gowa di masa lalu, dan menjadikannya sebagai spirit dan motivasi untuk membangun.

Menurut penulis, setidaknya ada dua hal yang perlu dilakukan. Pertama; menjadikan sejarah Gowa sebagai muatan lokal wajib di sekolah-sekolah. Hal ini perlu dilakukan karena saat ini pemahaman siswa tentang sejarah Gowa sangat terbatas. Penyebabnya adalah karena sejarah lokal termasuk sejarah Gowa kurang mendapat tempat semestinya dalam kurikulum pelajaran sejarah (SMA) maupun IPS (SD dan SMP). Kalaupun sejarah Gowa diungkap hanya pada dua kesempatan yaitu ketika membahas tentang masuknya Islam di Indonesia dan ketika perjuangan Sultan Hasanuddin melawan VOC (Belanda). Tetapi bagaimana kerajaan Gowa tumbuh, berkembang, dan mencapai puncak kejayaannya, dan siapa saja tokoh-tokohnya yang berpengaruh tidak pernah dibahas secara detail.

Sangat bertolak belakang jika dibandingkan dengan beberapa kerajaan di Pulau Jawa yang diberikan tempat yang sangat memadai dalam kurikulum. Tidak mengherankan jika siswa sangat hapal sejarah Mataram, Singosari, Majapahit dsb. tetapi kebingungan ketika ditanya tentang sejarah kerajaan Gowa yang justru adalah daerahnya  sendiri.  Memilukan sekaligus memalukan!

Menjadikan sejarah Gowa sebagai muatan lokal adalah bagian dari upaya melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah. Sebab sejarah lokal mengandung unsur-unsur budaya lokal, yang keberadaannya perlu dilestarikan dan dikembangkan, tentunya dengan tetap memperhatikan relevansinya dengan nilai-nilai yang berkembang dan dianut oleh  masyarakat dewasa ini.

Kedua; melestarikan peninggaan-peninggalan bersejarah. Sebagai sebuah kerajaan besar, kerajaan Gowa memiliki peninggalan-peninggalan bersejarah yang tersebar di berbagai tempat.  Peninggalan-peninggalan itu harus dijaga kelestariannya karena situs itulah yang menjadi saksi yang akan berdialog kepada generasi sekarang dan yang akan datang tentang Gowa di masa lalu. Adanya upaya revitalasasi sejumah peninggalan bersejarah oleh Pemkab Gowa saat ini, semisal situs  Ballalompoa, perlu diapresiasi dengan baik. Mudah-mudahan setelah revitalisasi minat orang berkunjung ke tempat-tempat bersejarah terutama siswa semakin meningkat.

Penelitian yang penulis lakukan pada tahun 2006 menunjukkan bahwa minat masyarakat berkunjung ke tempat bersejarah sangat kurang. Di kalangan siswa misalnya, menurut data dari BPPP Makassar memperlihatkan bahwa siswa yang berkunjung ke tempat bersejarah di Gowa hanya sekitar 3,30%. Kenyataan ini menjadi pertanda betapa apresiasi siswa dan boleh jadi juga gurunya sangat minim terhadap sejarah daerahnya sendiri.

Revitalisasi sebagai bagian dari pelestarian peninggalan sejarah sangat diperlukan, dengan catatan bahwa upaya tersebut tetap mempertahankan aspek keasliannya. Agar peninggalan bersejarah itu tetap memiliki “roh” sebagai warisan masa lalu yang mewakili jiwa zamannya. Dan tetap eksis sebagai simbol pergulatan hidup masyarakat pendukungnya.

Semoga dengan demikian, kebesaran Gowa ratusan tahun yang lalu akan selalu memberikan inspirasi kepada generasi-generasi sekarang dan yang akan datang untuk terus berkarya, mengejar impian-impiannya. Bukan tidak mungkin kebesaran Gowa akan kembali terulang ditangan generasi sekarang. Maka “jangan sekali-sekali melupakan sejarah (Jasmerah)” kata Bung Karno. Selamat Hari Jadi Gowa ke 693, bangkit dan teruslah mengukir sejarah!

Selamat Hari Uang Nasional

Apalah arti sebuah kemerdekaan, arti sebuah negara, jika tidak memiliki uang sendiri? Uang bukanlah semata sebagai alat pembayaran yang sah, tapi lebih hakiki daripada itu, uang berfungsi sebagai lambang penting merdekanya suatu negara. Emisi Uang Republik Indonesia mulai terbit tanggal 30 Oktober 1946, sehingga pada setiap tanggal 30 Oktober diperingati sebagai Hari Uang Republik Indonesia. Ada nilai-nilai sejarah, perjuangan dan kebangsaan yang terkandung di dalamnya yang bermula dari awal-awal masa kemerdekaan bangsa ini.

Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, kondisi ekonomi moneter Indonesia sangat kacau. Beredarnya mata uang pendudukan Jepang yang diperkirakan berjumlah 4 milyar memicu inflasi hebat pada saat itu. Disamping uang Jepang, di Indonesia saat itu juga masih beredar uang NICA dan uang Javasche Bank. Kedaulatan dan kemandirian sebagai suatu negara belum seutuhnya dimiliki oleh Republik Indonesia meskipun saat itu sudah setahun lebih mendeklarasikan kemerdekaannya. Dari sisi ekonomi, Indonesia masih dijajah dan diatur oleh uang asing.

Para pendiri bangsa saat itu menyadari bahwa untuk mempertahankan kemerdekaan selain kekuatan bersenjata juga dibutuhkan kekuatan dana untuk membiayai perjuangan itu. Pada tanggal 24 Oktober 1945, Menteri Keuangan RI, Alexander Andries Maramis saat itu, menginstruksikan tim khusus untuk mencari tempat percetakan uang dengan teknologi modern. Tim tersebut kemudian menemukan dan mngajukan percetakan G. Kolff Jakarta dan percetakan Nederlands Indische Mataaalwaren en Emballage Fabrieken (NIMEF) Malang. Pemerintah RI menyetujui dan uang ORI (Oeang Republik Indonesia) pertama berhasil dicetak.

Meskipun saat itu Indonesia telah mencetak ORI namun peredaran ORI masih terbatas karena Pemerintah RI saat itu masih kekurangan dana untuk mengedarkan ORI tersebut, sehingga sampai Oktober 1946, uang Jepang, uang NICA dan uang Javasche Bank masih berlaku di Indonesia. Butuh perjuangan berliku sebelum ORI dapat diedarkan ke seluruh penduduk Indonesia dan diakui hanya sebagai satu-satunya mata uang yang berlaku di Indonesia.

Perjuangan para Pendiri Bangsa khususnya para pegawai Keuangan saat itu akhirnya mulai membuahkan hasil. Pada tanggal 29 Oktober 1946 malam, Waki Presiden Mohammad Hatta mengumumkan melalui RRI-Yogya bahwa esok harinya akan diterbitkan dan diedarkannya emisi pertama Uang Republik Indonesia.

Kutipan kata-kata permulaan pidato panjang Bung Hatta pada malam itu adalah sebagai berikut: “Besok tanggal 30 Oktober 1946 adalah suatu hari yang mengandung sejarah bagi tanah air kita. Rakyat kita menghadapi penghidupan baru. Besok mulai beredar Uang Republik Indonesia sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah. Mulai pukul 12 tengah malam nanti uang Jepang yang selama ini beredar sebagai uang yang sah, tidak laku lagi. Beserta dengan uang Jepang itu ikut pula tidak laku uang Javacsche Bank. Dengan ini tutuplah suatu masa dalam sejarah keuangan republik Indonesia. Masa yang penuh dengan penderitaan dan kesukaran bagi rakyat kita. Uang sendiri itu adalah tanda kemerdekaan negara.”

Perjuangan para Pendiri Bangsa itu tiada artinya jika generasi sekarang tidak peduli dengankemandirian ekonomi bangsa. Semakin mandiri sebuah bangsa maka semakin kuat nilai mata uangnya. Dan salah satu tanda kemandirian ekonomi bangsa adalah jika mayoritas rakyat bangsa itu taat bayar pajak. Mata Uang dan Pajak bukan sebatas alat ekonomi namun juga sebagai alat pemersatu bangsa.

Mari satukan hati, mencintai uang Rupiah, membangun negeri dengan pajak.

http://nasional.news.viva.co.id/news/read/453926-uang–pajak-dan-kemandirian-bangsa

Inilah Pentingnya Rasa Humor Guru di Kelas!

Rasa humor (sense of humor) dapat diartikan sebagai kecenderungan respons kognitif individu untuk membangkitkan tertawa, senyuman, dan kegembiraan. Para ahli medis dan psikologi sepakat bahwa rasa humor merupakan aset berharga dan amat penting untuk kesehatan dan kebahagiaan hidup, yang bisa dimiliki oleh setiap individu normal. Secara medis, rasa humor dapat membantu mengatasi rasa sakit, dan meningkatkan sistem kekebalan tubuh, dan bahkan dapat memperpanjang usia. Secara sosio-psikologis, rasa humor dapat membantu mengurangi stress dan kecemasan, mempermudah interaksi sosial, dan dapat membantu pengambilan keputusan yang lebih baik di tengah-tengah situasi yang sulit. Mitchell Ditkoff menyebutkan bahwa humor merupakan salah satu ciri orang inovatif. Sementara, James C. Coleman mengatakan bahwa membangkitkan rasa humor merupakan salah satu cara untuk memelihara emosi yang konstruktif.

Bagi guru, memiliki rasa humor merupakan modal personal yang sangat berharga sekaligus dapat menjadi daya pikat tersendiri di mata siswanya. Rasa humor guru sangat berguna dalam upaya menciptakan iklim kelas dan pengembangan proses pembelajaran yang lebih sehat dan menyenangkan. Bahkan, Melissa Kelly menyebutkan bahwa rasa humor merupakan salah satu kunci untuk menjadi guru yang sukses. Menurut Melissa, rasa humor guru dapat meredakan ketegangan suasana dan dapat mencegah timbulnya perilaku disruptif siswa di kelas, serta bisa dijadikan sebagai cara untuk menarik perhatian siswa di kelas. Dan yang paling penting, dengan rasa humor yang dimilikinya, seorang guru akan menunjukkan bahwa dia adalah sosok orang yang memiliki kepribadian dan mental yang sehat, dapat menikmati hidup, serta mampu menjalani kehidupan kariernya secara wajar tanpa stress

Meski di bangku kuliah tidak pernah diberikan mata kuliah yang secara khusus mengkaji tentang pengembangan rasa humor di kelas, tetapi disini tampak terang bahwa guru perlu berlatih dan membiasakan diri untuk memiliki kemampuan mengembangkan rasa humor di kelas.

Dalam praktiknya, mengembangkan rasa humor di kelas tidak bisa dilakukan secara serampangan tetapi memerlukan cara dan kiat tersendiri. Berikut ini beberapa ide yang sering saya praktikkan di kelas.

  1. Hubungkan dengan materi yang sedang diajarkan. Mungkin ini ide yang paling sulit untuk diterapkan karena tidak semua materi yang kita ajarkan kepada siswa bisa disisipi humor,– khususnya bagi Anda yang kurang terbiasa berartikulasi. Tetapi jika Anda mampu melakukannya, maka humor yang dikoneksikan dengan materi pelajaran bisa diyakini sebagai bentuk reinforcement yang dapat membantu siswa untuk mencerna dan menyimpan informasi secara lebih baik dalam sistem memori jangka panjangnya.
  2. Gunakan video atau gambar yang relevan. Untuk ide yang kedua ini, mungkin tidak sesulit ide yang pertama. Cukup dengan menggunakan jasa Eyang Google atau mesin pencari lainnya, Anda bisa mencari dan menemukan aneka video dan gambar yang dibutuhkan untuk kepentingan pengembangan rasa humor di kelas. Konten video atau gambar tidak harus persis identik dengan materi yang akan diajarkan, yang penting bisa dicari kaitannya (dihubung-hubungkan). Selanjutnya, sajikanlah video atau gambar tersebut di kelas secara atraktif. Usahakan setelah usai penayangan, mintalah kepada siswa untuk merefleksi tayangan tersebut, dikaitkan dengan materi yang sedang diajarkan.
  3. Lakukan pada waktu dan situasi yang tepat. Mengembangkan rasa humor tidak harus dilakukan sepanjang waktu pelajaran, karena Anda tidak sedang melawak di kelas. Sajikan rasa humor Anda ketika siswa Anda membutuhkannya. Misalnya, ketika siswa mulai menunjukkan tanda-tanda kejenuhan atau ribut di kelas. Usahakan jangan mengulang topik humor yang sama pada kelas yang sama, Jika Anda mengulanginya, bukan kegembiraan siswa yang akan didapat tetapi malah mungkin menjadi sesuatu yang membosankan dan menyebalkan.
  4. Sampaikan secara etis dan tidak melecehkan siswa. Interaksi antara guru dengan siswa adalah interaksi pendidikan. Oleh karena itu, ketika Anda hendak menyampaikan humor di kelas harus tetap dalam bingkai pendidikan, baik dari segi konten maupun cara penyampaiannya. Hindari humor jorok dan berbau SARA, serta hindari bentuk humor yang dapat melukai harga diri seseorang, khususnya siswa, sekalipun humor itu sangat lucu dan dapat mengundang sebagian besar orang untuk tertawa dan bergembira.
  5. Mudah dipahami dan sesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa. Seorang guru berusaha mengembangkan humor tertentu di kelas, yang menurut dia humor itu sangat lucu, tetapi ternyata reaksi dari siswa malah datar-datar saja. Sangat mungkin hal ini disebabkan oleh konten humor yang terlalu tinggi sehingga sulit dicerna oleh pikiran siswa. Oleh karena itu, pilihlah secara jeli konten humor yang sesuai dengan daya tangkap siswa dan tingkat perkembangan siswa.

Begitulah ide dan pengalaman sederhana saya tentang bagaimana mengembangkan rasa humor di kelas. Tentu masih banyak ide dan pengalaman cerdas lainnya dari Anda, dan mari kita diskusikan di ruang komentar yang telah disediakan untuk memperkaya pemahaman kita tentang bagaimana mengembangkan rasa humor di kelas dan menciptakan kelas yang lebih menyenangkan.

Selamat berhumor ria dan mari kita belajarkan siswa-siswa kita dengan penuh suka cita agar mereka menjadi orang-orang yang berbahagia!

http://akhmadsudrajat.wordpress.com

Model-Model Pembelajaran Inovatif untuk Digunakan Guru

Gambar

Saat ini, pembelajaran inovatif yang akan mampu membawa perubahan belajar bagi siswa, telah menjadi barang wajib bagi guru. Pembelajaran lama telah usang karena dipandang hanya berkutat pada metode mulut. Siswa sangat tidak nyaman dengan metode mulut. Sebaliknya, siswa akan nyaman dengan pembelajaran yang sesuai dengan pribadi siswa saat ini.

Untuk membelajarkan siswa sesuai dengan cara-gaya belajar mereka sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai dengan optimal ada berbagai model pembelajaran. Dalam prakteknya, kita (guru) harus ingat bahwa tidak ada model pembelajaran yang paling tepat untuk segala situasi dan kondisi. Oleh karena itu, dalam memilih model pembelajaran yang tepat haruslah memperhatikan kondisi siswa, sifat materi bahan ajar, fasilitas-media yang tersedia, dan kondisi guru itu sendiri.

Berikut ini disajikan beberapa model pembelajaran, untuk dipilih dan dijadikan alternatif sehingga cocok untuk situasi dan kjondisi yang dihadapi. Akan tetapi sajian yang dikemukakan pengantarnya berupa pengertian dan rasional serta sintaks (prosedur) yang sifatnya prinsip, modifikasinya diserahkan kepada guru untuk melakukan penyesuaian, penulis yakin kreativitas para guru sangat tinggi.

Koperatif (CL, Cooperative Learning).
Pembelajaran koperatif sesuai dengan fitrah manusis sebagai makhluq sosial yang penuh ketergantungan dengan otrang lain, mempunyai tujuan dan tanggung jawab bersama, pembegian tugas, dan rasa senasib. Dengan memanfaatkan kenyatan itu, belajar berkelompok secara koperatif, siswa dilatih dan dibiasakan untuk saling berbagi (sharing) pengetahuan, pengalaman, tugas, tanggung jawab. Saling membantu dan berlatih beinteraksi-komunikasi-sosialisasi karena koperatif adalah miniature dari hidup bermasyarakat, dan belajar menyadari kekurangan dan kelebihan masing-masing.

Jadi model pembelajaran koperatif adalah kegiatan pembelajaran dengan cara berkelompok untuk bekerja sama saling membantu mengkontruksu konsep, menyelesaikan persoalan, atau inkuiri. Menurut teori dan pengalaman agar kelompok kohesif (kompak-partisipatif), tiap anggota kelompok terdiri dari 4 – 5 orang, siawa heterogen (kemampuan, gender, karekter), ada control dan fasilitasi, dan meminta tanggung jawab hasil kelompok berupa laporan atau presentasi.
Sintaks pembelajaran koperatif adalah informasi, pengarahan-strategi, membentuk kelompok heterogen, kerja kelompok, presentasi hasil kelompok, dan pelaporan.

Kontekstual (CTL, Contextual Teaching and Learning)
Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang dimulai dengan sajian atau tanya jawab lisan (ramah, terbuka, negosiasi) yang terkait dengan dunia nyata kehidupan siswa (daily life modeling), sehingga akan terasa manfaat dari materi yang akan disajkan, motivasi belajar muncul, dunia pikiran siswa menjadi konkret, dan suasana menjadi kondusif – nyaman dan menyenangkan. Pensip pembelajaran kontekstual adalah aktivitas siswa, siswa melakukan dan mengalami, tidak hanya menonton dan mencatat, dan pengembangan kemampuan sosialisasi.

Ada tujuh indokator pembelajarn kontekstual sehingga bisa dibedakan dengan model lainnya, yaitu modeling (pemusatan perhatian, motivasi, penyampaian kompetensi-tujuan, pengarahan-petunjuk, rambu-rambu, contoh), questioning (eksplorasi, membimbing, menuntun, mengarahkan, mengembangkan, evaluasi, inkuiri, generalisasi), learning community (seluruh siswa partisipatif dalam belajar kelompok atau individual, minds-on, hands-on, mencoba, mengerjakan), inquiry (identifikasi, investigasi, hipotesis, konjektur, generalisasi, menemukan), constructivism (membangun pemahaman sendiri, mengkonstruksi konsep-aturan, analisis-sintesis), reflection (reviu, rangkuman, tindak lanjut), authentic assessment (penilaian selama proses dan sesudah pembelajaran, penilaian terhadap setiap aktvitas-usaha siswa, penilaian portofolio, penilaian seobjektif-objektifnya darei berbagai aspek dengan berbagai cara).

Realistik (RME, Realistic Mathematics Education)
Realistic Mathematics Education (RME) dikembangkan oleh Freud di Belanda dengan pola guided reinventiondalam mengkontruksi konsep-aturan melalui process of mathematization, yaitu matematika horizontal (tools, fakta, konsep, prinsip, algoritma, aturan uantuk digunakan dalam menyelesaikan persoalan, proses dunia empirik) dan vertikal (reoorganisasi matematik melalui proses dalam dunia rasio, pengemabngan mateastika).

Prinsip RME adalah aktivitas (doing) konstruksivis, realitas (kebermaknaan proses-aplikasi), pemahaman (menemukan-informal daam konteks melalui refleksi, informal ke formal), inter-twinment (keterkaitan-intekoneksi antar konsep), interaksi (pembelajaran sebagai aktivitas sosial, sharing), dan bimbingan (dari guru dalam penemuan).

Pembelajaran Langsung (DL, Direct Learning)
Pengetahuan yang bersifat informasi dan prosedural yang menjurus pada ketrampilan dasar akan lebih efektif jika disampaikan dengan cara pembelajaran langsung. Sintaknya adalah menyiapkan siswa, sajian informasi dan prosedur, latihan terbimbing, refleksi, latihan mandiri, dan evaluasi. Cara ini sering disebut dengan metode ceramah atau ekspositori (ceramah bervariasi).

Pembelajaran Berbasis masalah (PBL, Problem Based Learning)
Kehidupan adalah identik dengan menghadapi masalah. Model pembelajaran ini melatih dan mengembangkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang berorientasi pada masalah otentik dari kehidupan aktual siswa, untuk merangsang kemamuan berpikir tingkat tinggi. Kondisi yang tetap hatrus dipelihara adalah suasana kondusif, terbuka, negosiasi, demokratis, suasana nyaman dan menyenangkan agar siswa dap[at berpikir optimal.

Indikator model pembelajaran ini adalah metakognitif, elaborasi (analisis), interpretasi, induksi, identifikasi, investigasi, eksplorasi, konjektur, sintesis, generalisasi, dan inkuiri

Dalam hal ini masalah didefinisikan sebagai suatu persoalan yang tidak rutin, belum dikenal cara penyelesaiannya. Justru problem solving adalah mencari atau menemukan cara penyelesaian (menemukan pola, aturan, atau algoritma). Sintaknya adalah: sajiakn permasalah yang memenuhi criteria di atas, siswa berkelompok atau individual mengidentifikasi pola atau atuiran yang disajikan, siswa mengidentifkasi, mengeksplorasi,menginvestigasi, menduga, dan akhirnya menemukan solusi.

Problem Posing
Problem posing yaitu pemecahan masalah dngan melalui elaborasi, yaitu merumuskan kembali masalah menjadi bagian-bagian yang lebih simple sehingga dipahami. Sintaknya adalah: pemahaman, jalan keluar, identifikasi kekeliruan, menimalisasi tulisan-hitungan, cari alternative, menyusun soal-pertanyaan.

Problem Terbuka (OE, Open Ended)
Pembelajaran dengan problem (masalah) terbuka artinya pembelajaran yang menyajikan permasalahan dengan pemecahan berbagai cara (flexibility) dan solusinya juga bisa beragam (multi jawab, fluency). Pembelajaran ini melatih dan menumbuhkan orisinilitas ide, kreativitas, kognitif tinggi, kritis, komunikasi-interaksi, sharing, keterbukaan, dan sosialisasi. Siswa dituntuk unrtuk berimprovisasi mengembangkan metode, cara, atau pendekatan yang bervariasi dalam memperoleh jawaban, jawaban siswa beragam. Selanjtynya siswa juda diinta untuk menjelaskan proses mencapai jawaban tersebut. Denga demikian model pembelajaran ini lebih mementingkan proses daripada produk yang akan membentiuk pola piker, keterpasuan, keterbukaan, dan ragam berpikir.

Sajian masalah haruslah kontekstual kaya makna secara matematik (gunakan gambar, diagram, table), kembangkan peremasalahan sesuai dengan kemampuan berpikir siswa, kaitakkan dengan materui selanjutnya, siapkan rencana bimibingan (sedikit demi sedikit dilepas mandiri).

Sintaknya adalah menyajikan masalah, pengorganisasian pembelajaran, perhatikan dan catat reson siswa, bimbingan dan pengarahan, membuat kesimpulan.

9. Probing-prompting
Teknik probing-prompting adalah pembelajaran dengan cara guru menyajikan serangkaian petanyaan yang sifatnya menuntun dan menggali sehingga terjadi proses berpikir yang mengaitkan engetahuan sisap siswa dan engalamannya dengan pengetahuan baru yang sedang dipelajari. Selanjutnya siswa memngkonstruksiu konsep-prinsip-aturan menjadi pengetahuan baru, dengan demikian pengetahuan baru tidak diberitahukan.

Dengan model pembelajaran ini proses tanya jawab dilakukan dengan menunjuk siswa secara acak sehingga setiap siswa mau tidak mau harus berpartisipasi aktif, siswa tidak bisa menghindar dari prses pembelajaran, setiap saat ia bisa dilibatkan dalam proses tanya jawab. Kemungkinan akan terjadi sausana tegang, namun demikian bisa dibiasakan. Untuk mngurang kondisi tersebut, guru hendaknya serangkaian pertanyaan disertai dengan wajah ramah, suara menyejukkan, nada lembut. Ada canda, senyum, dan tertawa, sehingga suasana menjadi nyaman, menyenangkan, dan ceria. Jangan lupa, bahwa jawaban siswa yang salah harus dihargai karena salah adalah cirinya dia sedang belajar, ia telah berpartisipasi

Pembelajaran Bersiklus (cycle learning)
Ramsey (1993) mengemukakan bahwa pembelajaran efektif secara bersiklus, mulai dari eksplorasi (deskripsi), kemudian eksplanasi (empiric), dan diakhiri dengan aplikasi (aduktif). Eksplorasi berarti menggali pengetahuan rasyarat, eksplnasi berarti menghenalkan konsep baru dan alternative pemecahan, dan aplikasi berarti menggunakan konsep dalam konteks yang berbeda.

Reciprocal Learning
Weinstein & Meyer (199 mengemukakan bahwa dalam pembelajaran harus memperhatikan empat hal, yaitu bagaimana siswa belajar, mengingat, berpikir, dan memotivasi diri. Sedangkan Resnik (1999) mwengemukan bhawa belajar efektif dengan cara membaca bermakna, merangkum, bertanya, representasi, hipotesis.

Untuk mewujudkan belajar efektif, Donna Meyer (1999) mengemukakan cara pembelajaran resiprokal, yaitu: informasi, pengarahan, berkelompok mengerjakan LKSD-modul, membaca-merangkum.

SAVI
Pembelajaran SAVI adalah pembelajaran yang menekankan bahwa belajar haruslah memanfaatkan semua alat indar yang dimiliki siswa. Istilah SAVI sendiri adalah kependekan dari: Somatic yang bermakna gerakan tubuh (hands-on, aktivitas fisik) di mana belajar dengan mengalami dan melakukan; Auditory yang bermakna bahwa belajar haruslah dengan melaluui mendengarkan, menyimak, berbicara, presentasi, argumentasi, mengemukakan penndepat, dan mennaggapi; Visualization yang bermakna belajar haruslah menggunakan indra mata melallui mengamati, menggambar, mendemonstrasikan, membaca, menggunbakan media dan alat peraga; dan Intellectualy yang bermakna bahawa belajar haruslah menggunakan kemampuan berpikir (minds-on) nbelajar haruslah dengan konsentrasi pikiran dan berlatih menggunakannya melalui bernalar, menyelidiki, mengidentifikasi, menemukan, mencipta, mengkonstruksi, memecahkan masalah, dan menerapkan.

TGT (Teams Games Tournament)
Penerapan model ini dengan cara mengelompokkan siswa heterogen, tugas tiap kelompok bisa sama bis aberbeda. SDetelah memperoleh tugas, setiap kelompok bekerja sama dalam bentuk kerja individual dan diskusi. Usahakan dinamikia kelompok kohesif dan kompak serta tumbuh rasa kompetisi antar kelompok, suasana diskuisi nyaman dan menyenangkan sepeti dalam kondisi permainan (games) yaitu dengan cara guru bersikap terbuka, ramah , lembut, santun, dan ada sajian bodoran. Setelah selesai kerja kelompok sajikan hasil kelompok sehuingga terjadi diskusi kelas.

Jika waktunya memungkinkan TGT bisa dilaksanakan dalam beberapa pertemuan, atau dalam rangak mengisi waktu sesudah UAS menjelang pembagian raport. Sintaknya adalah sebagai berikut:

a.Buat kelompok siswa heterogen 4 orang kemudian berikan informasi pokok materi dan \mekanisme kegiatan
b.Siapkan meja turnamen secukupnya, missal 10 meja dan untuk tiap meja ditempati 4 siswa yang berkemampuan setara, meja I diisi oleh siswa dengan level tertinggi dari tiap kelompok dan seterusnya sampai meja ke-X ditepati oleh siswa yang levelnya paling rendah. Penentuan tiap siswa yang duduk pada meja tertentu adalah hasil kesewpakatan kelompok.

c. Selanjutnya adalah opelaksanaan turnamen, setiap siswa mengambil kartu soal yang telah disediakan pada tiap meja dan mengerjakannya untuk jangka waktu terttentu (misal 3 menit). Siswa bisda nmngerjakan lebbih dari satu soal dan hasilnya diperik\sa dan dinilai, sehingga diperoleh skor turnamen untuk tiap individu dan sekaligus skor kelompok asal. Siswa pada tiap meja tunamen sesua dengan skor yang dip[erolehnay diberikan sebutan (gelar) superior, very good, good, medium.

Bumping, pada turnamen kedua ( begitu juga untuk turnamen ketiga-keempat dst.), dilakukan pergeseran tempat duduk pada meja turnamen sesuai dengan sebutan gelar tadi, siswa superior dalam kelompok meja turnamen yang sama, begitu pula untuk meja turnamen yang lainnya diisi oleh siswa dengan gelar yang sama.

e. Setelah selesai hitunglah skor untuk tiap kelompok asal dan skor individual, berikan penghargaan kelompok dan individual.

VAK (Visualization, Auditory, Kinestetic)
Model pebelajaran ini menganggap bahwa pembelajaran akan efektif dengan memperhatikan ketiga hal tersebut di atas, dengan perkataan lain manfaatkanlah potensi siwa yang telah dimilikinya dengan melatih, mengembangkannya. Istilah tersebut sama halnya dengan istilah pada SAVI, dengan somatic ekuivalen dengan kinesthetic.

AIR (Auditory, Intellectualy, Repetition)
Model pembelajaran ini mirip dengan SAVI dan VAK, bedanya hanyalah pada Repetisi yaitu pengulangan yang bermakna pendalama, perluasan, pemantapan dengan cara siswa dilatih melalui pemberian tugas atau quis.

TAI (Team Assisted Individualy)
Terjemahan bebas dari istilah di atas adalah Bantuan Individual dalam Kelompok (BidaK) dengan karateristirk bahwa (Driver, 1980) tanggung jawab vbelajar adalah pada siswa. Oleh karena itu siswa harus membangun pengetahuan tidak menerima bentuk jadi dari guru. Pola komunikasi guru-siswa adalah negosiasi dan bukan imposisi-intruksi.

Sintaksi BidaK menurut Slavin (1985) adalah: (1) buat kelompok heterogen dan berikan bahan ajar berupak modul, (2) siswa belajar kelompok dengan dibantu oleh siswa pandai anggota kelompok secara individual, saling tukar jawaban, saling berbagi sehingga terjadi diskusi, (3) penghargaan kelompok dan refleksi serta tes formatif.

STAD (Student Teams Achievement Division)
STAD adalah salah sati model pembelajaran koperatif dengan sintaks: pengarahan, buat kelompok heterogen (4-5 orang), diskusikan bahan belajar-LKS-modul secara kolabratif, sajian-presentasi kelompok sehingga terjadi diskusi kelas, kuis individual dan buat skor perkembangan tiap siswa atau kelompok, umumkan rekor tim dan individual dan berikan reward.

NHT (Numbered Head Together)
NHT adalah salah satu tipe dari pembelajaran koperatif dengan sintaks: pengarahan, buat kelompok heterogen dan tiap siswa memiliki nomor tertentu, berikan persoalan materi bahan ajar (untuk tiap kelompok sama tapi untuk tiap siswa tidak sama sesuai dengan nomor siswa, tiasp siswa dengan nomor sama mendapat tugas yang sama) kemudian bekerja kelompok, presentasi kelompok dengan nomnor siswa yang sama sesuai tugas masing-masing sehingga terjadi diskusi kelas, kuis individual dan buat skor perkembangan tiap siswa, umumkan hasil kuis dan beri reward.

Jigsaw
Model pembeajaran ini termasuk pembelajaran koperatif dengan sintaks sepeerti berikut ini. Pengarahan, informasi bahan ajar, buat kelompok heterogen, berikan bahan ajar (LKS) yang terdiri dari beberapa bagian sesuai dengan banyak siswa dalam kelompok, tiap anggota kelompok bertugas membahasa bagian tertentu, tuiap kelompok bahan belajar sama, buat kelompok ahli sesuai bagian bahan ajar yang sama sehingga terjadi kerja sama dan diskusi, kembali ke kelompok aasal, pelaksnaa tutorial pada kelompok asal oleh anggotan kelompok ahli, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.

TPS (Think Pairs Share)
Model pembelajaran ini tergolong tipe koperatif dengan sintaks: Guru menyajikan materi klasikal, berikan persoalan kepada siswa dan siswa bekerja kelompok dengan cara berpasangan sebangku-sebangku (think-pairs), presentasi kelompok (share), kuis individual, buat skor perkembangan tiap siswa, umumkan hasil kuis dan berikan reward.

GI (Group Investigation)
Model koperatif tipe GI dengan sintaks: Pengarahan, buat kelompok heterogen dengan orientasi tugas, rencanakan pelaksanaan investigasi, tiap kelompok menginvestigasi proyek tertentu (bisa di luar kelas, misal mengukur tinggi pohon, mendata banyak dan jenis kendaraan di dalam sekolah, jenis dagangan dan keuntungan di kantin sekolah, banyak guru dan staf sekolah), pengoalahn data penyajian data hasi investigasi, presentasi, kuis individual, buat skor perkem\angan siswa, umumkan hasil kuis dan berikan reward.

MEA (Means-Ends Analysis)
Model pembelajaran ini adalah variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah dengan sintaks: sajikan materi dengan pendekatan pemecahan masalah berbasis heuristic, elaborasi menjadi sub-sub masalah yang lebih sederhana, identifikasi perbedaan, susun sub-sub masalah sehingga terjadli koneksivitas, pilih strategi solusi

CPS (Creative Problem Solving)
Ini juga merupakan variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah melalui teknik sistematik dalam mengorganisasikan gagasan kreatif untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Sintaksnya adalah: mulai dari fakta aktual sesuai dengan materi bahan ajar melalui tanya jawab lisan, identifikasi permasalahan dan fokus-pilih, mengolah pikiran sehingga muncul gagasan orisinil untuk menentukan solusi, presentasi dan diskusi.

TTW (Think Talk Write)
Pembelajaran ini dimulai dengan berpikir melalui bahan bacaan (menyimak, mengkritisi, dan alternative solusi), hasil bacaannya dikomunikasikan dengan presentasi, diskusi, dan kemudian buat laopran hasil presentasi. Sinatknya adalah: informasi, kelompok (membaca-mencatatat-menandai), presentasi, diskusi, melaporkan.

TS-TS (Two Stay – Two Stray)
Pembelajaran model ini adalah dengan cara siswa berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan kelompok lain. Sintaknya adalah kerja kelompok, dua siswa bertamu ke kelompok lain dan dua siswa lainnya tetap di kelompoknya untuk menerima dua orang dari kelompok lain, kerja kelompok, kembali ke kelompok asal, kerja kelompok, laporan kelompok.

CORE (Connecting, Organizing, Refleting, Extending)
Sintaknya adalah (C) koneksi informasi lama-baru dan antar konsep, (0) organisasi ide untuk memahami materi, (R) memikirkan kembali, mendalami, dan menggali, (E) mengembangkan, memperluas, menggunakan, dan menemukan.

SQ3R (Survey, Question, Read, Recite, Review)
Pembelajaran ini adalah strategi membaca yang dapat mengembangkan meta kognitif siswa, yaitu dengan menugaskan siswa untuk membaca bahan belajar secara seksama-cermat, dengan sintaks: Survey dengan mencermati teks bacaan dan mencatat-menandai kata kunci, Question dengan membuat pertanyaan (mengapa-bagaimana, darimana) tentang bahan bacaan (materi bahan ajar), Read dengan membaca teks dan cari jawabanya, Recite dengan pertimbangkan jawaban yang diberikan (cartat-bahas bersama), dan Review dengan cara meninjau ulang menyeluruh

SQ4R (Survey, Question, Read, Reflect, Recite, Review)
SQ4R adalah pengembangan dari SQ3R dengan menambahkan unsur Reflect, yaitu aktivitas memberikan contoh dari bahan bacaan dan membayangkan konteks aktual yang relevan.

MID (Meaningful Instructionnal Design)
Model ini adalah pembnelajaran yang mengutamakan kebermaknaan belajar dan efektifivitas dengan cara membuat kerangka kerja-aktivitas secara konseptual kognitif-konstruktivis. Sintaknya adalah (1) lead-in dengan melakukan kegiatan yang terkait dengan pengalaman, analisi pengalaman, dan konsep-ide; (2) reconstruction melakukan fasilitasi pengalaan belajar; (3) production melalui ekspresi-apresiasi konsep

KUASAI
Pembelajaran akan efektif dengan melibatkan enam tahap berikut ini, Kerangka pikir untuk sukses, Uraikan fakta sesuai dengan gaya belajar, Ambil pemaknaan (mengetahui-memahami-menggunakan-memaknai), Sertakan ingatan dan hafalkan kata kunci serta koneksinya, Ajukan pengujian pemahaman, dan Introspeksi melalui refleksi diri tentang gaya belajar.

CRI (Certainly of Response Index)
CRI digunakan untuk mengobservasi proses pembelajaran yang berkenaan dengan tingkat keyakinan siswa tentang kemampuan yang dimilkinya untuk memilih dan menggunakan pengetahuan yang telah dimilikinya. Hutnal (2002) mengemukakan bahwa CRI menggunakan rubric dengan penskoran 0 untuk totally guested answer, 1 untuk amost guest, 2 untuk not sure, 3 untuk sure, 4 untuk almost certain, dn 5 untuk certain.

DLPS (Double Loop Problem Solving)
DPLS adalah variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah dengan penekanan pada pencarian kausal (penyebab) utama daritimbulnya masalah, jadi berkenaan dengan jawaban untuk pertanyaan mengapa. Selanutnya menyelesaikan masalah tersebut dengan cara menghilangkan gap uyang menyebabkan munculnya masalah tersebut.

Sintaknya adalah: identifkasi, deteksi kausal, solusi tentative, pertimbangan solusi, analisis kausal, deteksi kausal lain, dan rencana solusi yang terpilih. Langkah penyelesdai maslah sebagai berikurt: menuliskan pernyataan masalah awal, mengelompokkan gejala, menuliskan pernyataan masalah yang telah direvisi, mengidentifikasui kausal, imoplementasi solusi, identifikasi kausal utama, menemukan pilihan solusi utama, dan implementasi solusi utama.

DMR (Diskursus Multy Reprecentacy)
DMR adalah pembelajaran yang berorientasi pada pembentukan, penggunaan, dan pemanfaatan berbagai representasi dengan setting kelas dan kerja kelompok. Sintaksnya adalah: persiapan, pendahuluan, pengemabangan, penerapan, dan penutup.

CIRC (Cooperative, Integrated, Reading, and Composition)
Terjemahan bebas dari CIRC adalah komposisi terpadu membaca dan menulis secara koperatif –kelompok. Sintaksnya adalah: membentuk kelompok heterogen 4 orang, guru memberikan wacana bahan bacaan sesuai dengan materi bahan ajar, siswa bekerja sama (membaca bergantian, menemukan kata kunci, memberikan tanggapan) terhadap wacana kemudian menuliskan hasil kolaboratifnya, presentasi hasil kelompok, refleksi.

IOC (Inside Outside Circle)
IOC adalah mode pembelajaran dengan sistim lingkaran kecil dan lingkaran besar (Spencer Kagan, 1993) di mana siswa saling membagi informasi pada saat yang bersamaan dengan pasangan yang berbeda dengan ssingkat dan teratur. Sintaksnya adalah: Separu dari sjumlah siswa membentuk lingkaran kecil menghadap keluar, separuhnya lagi membentuk lingkaran besar menghadap ke dalam, siswa yang berhadapan berbagi informasi secara bersamaan, siswa yang berada di lingkran luar berputar keudian berbagi informasi kepada teman (baru) di depannya, dan seterusnya

Tari Bambu
Model pembelajaran ini memberuikan kesempatan kepada siswa untuk berbagi informasi pada saat yang bersamaan dengan pasangan yang berbeda secara teratur. Strategi ini cocok untuk bahan ajar yang memerlukan pertukartan pengalaman dan pengetahuan antar siswa. Sintaksnya adalah: Sebagian siswa berdiri berjajar di depoan kelas atau di sela bangku-meja dan sebagian siswa lainnya berdiri berhadapan dengan kelompok siswa opertama, siswa yang berhadapan berbagi pengalkaman dan pengetahuan, siswa yang berdiri di ujung salah satui jajaran pindah ke ujunug lainnya pada jajarannya, dan kembali berbagai informasi.

Artikulasi
Artikulasi adalah mode pembelajaran dengan sintaks: penyampaian konpetensi, sajian materi, bentuk kelompok berpasangan sebangku, salah satu siswa menyampaikan materi yang baru diterima kepada pasangannya kemudian bergantian, presentasi di depan hasil diskusinya, guru membimbing siswa untuk menyimpulkan.

Debate
Debat adalah model pembalajaranb dengan sisntaks: siswa menjadi 2 kelompok kemudian duduk berhadapan, siswa membaca materi bahan ajar untuk dicermati oleh masing-masing kelompok, sajian presentasi hasil bacaan oleh perwakilan salah satu kelompok kemudian ditanggapi oleh kelompok lainnya begitu setrusnya secara bergantian, guru membimbing membuat kesimpulan dan menambahkannya biola perlu.

Role Playing
Sintak dari model pembelajaran ini adalah: guru menyiapkan scenario pembelajaran, menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari scenario tersebut, pembentukan kelompok siswa, penyampaian kompetensi, menunjuk siswa untuk melakonkan scenario yang telah dipelajarinya, kelompok siswa membahas peran yang dilakukan oleh pelakon, presentasi hasil kelompok, bimbingan penimpoulan dan refleksi.

Talking Stick
Sintak p[embelajana ini adalah: guru menyiapkan tongkat, sajian materi pokok, siswa mebaca materi lengkap pada wacana, guru mengambil tongkat dan memberikan tongkat kepada siswa dan siswa yang kebagian tongkat menjawab pertanyaan dari guru, tongkat diberikan kepad siswa lain dan guru memberikan petanyaan lagi dan seterusnya, guru membimbing kesimpulan-refleksi-evaluasi.

Sintaknya adalah: Informasi materi secara umum, membentuk kelompok, pemanggilan ketua dan diberi tugas membahas materi tertentu di kelompok, bekerja kelompok, tiap kelompok menuliskan pertanyaan dan diberikan kepada kelompok lain, kelompok lain menjawab secara bergantian, penyuimpulan, refleksi dan evaluasi

Student Facilitator and Explaining
Langkah-langkahnya adalah: informasi kompetensi, sajian materi, siswa mengembangkannya dan menjelaskan lagi ke siswa lainnya, kesimpulan dan evaluasi, refleksi.

Course Review Horay
Langkah-langkahnya: informasi kompetensi, sajian materi, tanya jawab untuk pemantapan, siswa atau kelompok menuliskan nomor sembarang dan dimasukkan ke dalam kotak, guru membacakan soal yang nomornya dipilih acak, siswa yang punya nomor sama dengan nomor soal yang dibacakan guru berhak menjawab jika jawaban benar diberi skor dan siswa menyambutnya dengan yel hore atau yang lainnya, pemberian reward, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.

Demonstration
Pembelajaran ini khusu untuk materi yang memerlukan peragaan media atau eksperimen. Langkahnya adalah: informasi kompetensi, sajian gambaran umum materi bahan ajar, membagi tugas pembahasan materi untuk tiap kelompok, menunjuk siswa atau kelompok untuk mendemonstrasikan bagiannya, dikusi kelas, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.

Explicit Instruction
Pembelajaran ini cocok untuk menyampaikan materi yang sifatnya algoritma-prosedural, langkah demi langkah bertahap. Sintaknya adalah: sajian informasi kompetensi, mendemontrasikan pengetahuan dan ketrampilan procedural, membimbing pelatihan-penerapan, mengecek pemahaman dan balikan, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.

Scramble
Sintaknya adalah: buatlah kartu soal sesuai marteri bahan ajar, buat kartu jawaban dengan diacak nomornya, sajikan materi, membagikan kartu soal pada kelompok dan kartu jawaban, siswa berkelompok mengerjakan soal dan mencari kartu soal untuk jawaban yang cocok.

Pair Checks
Siswa berkelompok berpasangan sebangku, salah seorang menyajikan persoalan dan temannya mengerjakan, pengecekan kebenaran jawaban, bertukar peran, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.

Make-A Match
Guru menyiapkan kartu yang berisi persoalan-permasalahan dan kartu yang berisi jawabannya, setiap siswa mencari dan mendapatkan sebuah kartu soal dan berusaha menjawabnya, setiap siswa mencari kartu jawaban yang cocok dengan persoalannya siswa yang benar mendapat nilai-reward, kartu dikumpul lagi dan dikocok, untuk badak berikutnya pembelajaran seperti babak pertama, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.

Mind Mapping
Pembelajaran ini sangat cocok untuk mereview pengetahuan awal siswa. Sintaknya adalah: informasi kompetensi, sajian permasalahan terbuka, siswa berkelompok untuk menanggapi dan membuat berbagai alternatiu jawababn, presentasi hasuil diskusi kelompok, siswa membuat kesimpulan dari hasil setiap kelompok, evaluasi dan refleksi.

Examples Non Examples
Persiapkan gambar, diagram, atau tabel sesuai materi bahan ajar dan kompetensi, sajikan gambar ditempel atau pakai OHP, dengan petunjuk guru siswa mencermati sajian, diskusi kelompok tentang sajian gambar tadi, presentasi hasil kelompok, bimbingan penyimpulan, valuasi dan refleksi.

Picture and Picture
Sajian informasi kompetensi, sajian materi, perlihatkan gambar kegiatan berkaitan dengan materi, siswa (wakil) mengurutkan gambar sehingga sistematik, guru mengkonfirmasi urutan gambar tersebut, guru menanamkan konsep sesuai materi bahan ajar, penyimpulan, evaluasi dan refleksi.

Cooperative Script
Buat kelompok berpasangan sebangku, bagikan wacana materi bahan ajar, siswa mempelajari wacana dan membuat rangkuman, sajian hasil diskusi oleh salah seorang dan yang lain menanggapi, bertukar peran, penyimpulan, evaluasi dan refleksi.

LAPS-Heuristik
Heuristik adalah rangkaian pertanyaan yang bersifat tuntunan dalam rangaka solusi masalah. LAPS ( Logan Avenue Problem Solving) dengan kata Tanya apa masalahnya, adakah alternative, apakah bermanfaat, apakah solusinya, dan bagaimana sebaiknya mengerjakannya. Sintaks: pemahaman masalah, rencana, solusi, dan pengecekan.

Improve
Improve singkatan dari Introducing new concept, Metakognitive questioning, Practicing, Reviewing and reducing difficulty, Obtaining mastery, Verivication, Enrichment. Sintaknya adalah sajian pertanyaan untuk mengantarkan konsep, siswa latian dan bertanya, balikan-perbnaikan-pengayaan-interaksi.

Generatif
Generatif adalah konstruksivisme dengan sintaks orintasi-motivasi, pengungkapan ide-konsep awal, tantangan dan restruturisasi sajiankonsep, aplikasi, ranguman, evaluasi, dan refleksi

Circuit Learning
Pembelajaran ini adalah dengan memaksimalkan pemberdayaan pikiran dan perasaan dengan pola bertambah dan mengulang. Sintaknya adalah kondisikan situasi belajar kondusif dan focus, siswa membuat catatan kreatif sesuai dengan pola pikirnya-peta konsep-bahasa khusus, Tanya jawab dan refleksi

Complete Sentence
Pembelajaran dengan model melengkapi kalimat adalah dengan sintakas: sisapkan blanko isian berupa aparagraf yang kalimatnya belum lengkap, sampaikan kompetensi, siswa ditugaskan membaca wacana, guru membentuk kelompok, LKS dibagikan berupa paragraph yang kaliatnya belum lengkap, siswa berkelompok melengkapi, presentasi.

Concept Sentence
Prosedurnya adalah penyampaian kompetensi, sajian materi, membentuk kelompok heterogen, guru menyiapkan kata kunci sesuai materi bahan ajar, tia kelompok membeuat kalimat berdasarkankata kunci, presentasi.

Time Token
Model ini digunakan untuk melatih dan mengembangkan ketrampilan sosial agar siswa tidak mendominasi pembicaraan atau diam sama sekali. Langkahnya adalah kondisikan kelas untuk melaksanakan diskusi, tiap siswa diberi kupon bahan pembicaraan (1 menit), siswa berbicara (pidato-tidak membaca) berdasarkan bahan pada kupon, setelah selesai kupon dikembalikan.

Take and Give
Model pembelajaran menerima dan memberi adalah dengan sintaks, siapkan kartu dengan yang berisi nama siswa – bahan belajar – dan nama yang diberi, informasikan kompetensi, sajian materi, pada tahap pemantapan tiap siswa disuruh berdiri dan mencari teman dan saling informasi tentang materi atau pendalaman-perluasannya kepada siswa lain kemudian mencatatnya pada kartu, dan seterusnya dengan siswa lain secara bergantian, evaluasi dan refleksi

Superitem
Pembelajaran ini dengan cara memberikan tugas kepada siswa secara bertingkat-bertahap dari simpel ke kompleks, berupa opemecahan masalah. Sintaksnya adalah ilustrasikan konsep konkret dan gunakan analogi, berikan latihan soal bertingkat, berikan sal tes bentuk super item, yaitu mulai dari mengolah informasi-koneksi informasi, integrasi, dan hipotesis.

Hibrid
Model hibrid adalah gabungan dari beberapa metode yang berkenaan dengan cara siswa mengadopsi konsep. Sintaknya adalah pembelajaran ekspositori, koperatif-inkuiri-solusi-workshop, virtual workshop menggunakan computer-internet.

Treffinger
Pembelajaran kreatif dengan basis kematangan dan pengetahuan siap. Sintaks: keterbukaan-urun ide-penguatan, penggunaan ide kreatif-konflik internal-skill, proses rasa-pikir kreatif dalam pemecahan masalah secara mandiri melalui pemanasan-minat-kuriositi-tanya, kelompok-kerjasama, kebebasan-terbuka, reward.

Kumon
Pembelajaran dengan mengaitkan antar konsep, ketrampilan, kerja individual, dan menjaga suasana nyaman-menyenangkan. Sintaksnya adalah: sajian konsep, latihan, tiap siswa selesai tugas langsung diperiksa-dinilai, jika keliru langsung dikembalikan untuk diperbaiki dan diperiksa lagi, lima kali salah guru membimbing.

Quantum
Memandang pelaksanaan pembelajaran seperti permainan musik orkestra-simfoni. Guru harus menciptakan suasana kondusif, kohesif, dinamis, interaktif, partisipatif, dan saling menghargai. Prinsip quantum adalah semua berbicara-bermakna, semua mempunyai tujuan, konsep harus dialami, tiap usaha siswa diberi reward. Strategi quantum adalah tumbuhkan minat dengan AMBak, alami-dengan dunia realitas siswa, namai-buat generalisasi sampai konsep, demonstrasikan melalui presentasi-komunikasi, ulangi dengan Tanya jawab-latihan-rangkuman, dan rayakan dengan reward dengan senyum-tawa-ramah-sejuk-nilai-harapan.

Rumus quantum fisika asdalah E = mc2, dengan E = energi yang diartikan sukses, m = massa yaitu potensi diri (akal-rasa-fisik-religi), c = communication, optimalkan komunikasi + dengan aktivitas optimal.

BETAPA MENENTUKANNYA SEORANG GURU

Oleh: Mohammad Fauzil AdhimMUH. FAUZIL ADHIM


INGIN anak Anda sukses? Perhatikan, siapa gurunya! Sebuah riset yang dilakukan oleh S. Paul Wright, Sandra Horn dan William Sanders (1997) terhadap enam puluh ribu siswa, memberi pelajaran berharga kepada kita betapa pentingnya memperhatikan siapa yang menjadi guru bagi anak-anak kita.

Hasil riset yang mereka lakukan menunjukkan bahwa faktor paling penting yang berpengaruh secara langsung terhadap belajar siswa adalah guru. Artinya, ada berbagai faktor yang mempengaruhi minat, keterampilan, kemampuan dan antusiasme belajar siswa, baik yang ada di sekolah maupun di rumah. Tetapi dari sekian banyak faktor, yang paling berpengaruh adalah guru. Maka, jika ada anak yang kurang bergairah saat belajar, pertanyaan pertama yang harus dijawab secara tuntas sebelum memanggil orangtua adalah bagaimana guru mengelola kelas dan menjalin hubungan dengan siswa-siswanya. Di luar itu, ada pertanyaan lain yang harus dijawab, apakah guru memiliki integritas pribadi atau tidak. Ini berarti, kompetensi saja tak cukup.

Kembali pada riset yang kita perbincangkan di awal tulisan ini. Wright dan kawan-kawan mencatat bahwa, guru-guru yang efektif mampu menjadikan para siswanya berkembang secara optimal. Ini berlaku untuk semua siswa dengan berbagai jenjang prestasi, tidak peduli seberapa majemuk ragam anak-anak di kelas. Jika di kelas banyak anak yang gagal mengembangkan kemampuannya secara efektif, berarti guru tidak mampu mengelola kelas atau bahkan bisa lebih dari itu, yakni tidak mengenali para siswanya dengan baik. Anak yang tidak bisa memusatkan perhatian dalam rentang waktu yang lama, boleh jadi karena kemampuannya mencerna pelajaran yang kurang, boleh jadi karena minatnya yang lemah. Ini berarti, meskipun sama masalahnya, langkah yang perlu diambil oleh guru akan sangat berbeda.

Catatan ini menunjukkan bahwa, kegiatan belajar-mengajar yang efektif sangat sulit terjadi apabila guru tidak mampu mengelola kelas dengan baik. Jika siswa banyak yang menunjukkan perilaku menyimpang atau antar siswa tidak ada rasa saling hormat, tak ada aturan dan prosedur yang dihormati sebagai panduan perilaku, dan rasa persahabatan antar siswa sangat rendah, maka kekacauan di kelas akan menjadi hal yang wajar. Dalam situasi seperti ini, kata Marzano dalam bukunya yang bertajuk Classroom Management That Works (2003), baik guru maupun siswa sama-sama menderita. Guru harus berjuang mati-matian untuk mengajar, dan siswa hampir pasti belajar jauh lebih sedikit daripada yang seharusnya mereka lakukan.

Berbagai riset menunjukkan bahwa anak-anak yang kemampuan matematikanya rendah dengan skor 50% ke bawah, meningkat pesat kemampuannya setelah 2 tahun jika ia belajar di sekolah yang efektif dan guru yang juga efektif. Sedangkan anak-anak yang belajar di sekolah rata-rata dengan kemampuan guru mengelola kelas yang juga rata-rata, tidak mengalami perubahan apa pun setelah 2 tahun. Tetap saja kemampuannya tidak berkembang dengan baik. Sementara anak-anak yang belajar di sekolah yang tidak efektif dan –celakanya—memperoleh guru yang juga tidak efektif, justru makin lama makin bodoh. Semakin lama ia bersekolah semakin terpuruk prestasinya, semakin tidak mampu ia mengembangkan potensinya.

Pelajaran apa yang bisa kita petik? Setiap anak bisa mengembangkan kemampuannya. Mereka bisa meraih sukses jika memperoleh bimbingan dari guru yang baik; guru yang mampu menjalin hubungan akrab dengan siswanya secara bermartabat, bisa membangkitkan tanggung-jawab siswa bagi kelangsungan pembelajaran yang penuh semangat, tegas dalam menegakkan disiplin sekaligus dapat melakukan intervensi disiplin secara ketat di kelas, mampu membuat aturan dan prosedur kelas yang menjadi panduan bagi siswa dalam berperilaku, serta memiliki kecakapan membangun sikap mental yang tepat bagi siswanya maupun dirinya sendiri.

Saya perlu menggarisbawahi masalah kemampuan menjalin hubungan akrab secara bermartabat. Apa yang perlu kita perhatikan di sini? Selain terampil menjalin keakraban dengan siswa, yang tidak boleh ditawar-tawar adalah keharusan menjaga batas antara siswa dan guru. Akrab dan bersahabat (friendly) memang harus, tetapi harus diingat bahwa guru adalah seorang pendidik dan pembimbing yang bertugas memberi arahan. Ada garis tegas yang perlu diperhatikan agar siswa tetap memiliki tata-krama yang baik. Harry K. Wong & Rosemary T. Wong bahkan mengingatkan dalam bukunya yang berjudul How to Be An Effective Teacher: The First Days of School agar guru tidak menjadi teman.

Buku yang berisi panduan tentang apa yang harus dilakukan oleh guru pada bulan-bulan pertama di sekolah ini menegaskan bahwa setiap guru harus akrab, peduli, penuh cinta dan sekaligus peka terhadap siswa. Tetapi mereka bukanlah teman. Guru harus mampu menjalin hubungan yang bersahabat, tetapi tetap bukan teman yang membuat siswa kehilangan tata-krama.

Apa artinya?

Menjadi guru efektif yang membuat setiap siswa mampu meraih sukses, bukan hanya soal kompetensi. Guru memang harus menguasai bidang studi yang diajarkan. Bukan hanya menang semalam, yakni sekedar belajar lebih awal daripada siswanya. Guru juga harus terampil mengajar. Sangat mumpuni dalam bidang yang diajarkan tetapi tidak mampu menyampaikan dengan baik dan kurang mampu menerangkan secara komunikatif, juga akan berakibat siswa mengalami kesulitan belajar. Mereka menjadi bodoh bukan karena tidak memiliki potensi untuk menguasai pelajaran dengan baik, tetapi karena guru gagal dalam memahamkan siswa.

Itu sebabnya, kriteria ketuntasan minimal (KKM) dapat dipandang dari dua arah. Pertama, KKM adalah standar minimal yang harus dicapai oleh siswa. Jika ada yang tidak mampu mencapai KKM, maka kesalahan sepenuhnya dapat ditimpakan kepada siswa dan orangtua. Cara pandang inilah yang banyak dianut sekolah-sekolah kita di negeri ini. Kedua, KKM merupakan target kemampuan siswa yang harus dibangun oleh guru. Jika ada siswa yang gagal memenuhi KKM, maka guru melakukan evaluasi caranya mengajar dan menangani siswa.

Cara pandang inilah yang diterapkan di sekolah-sekolah efektif, sehingga guru terbiasa melakukan penilaian, evaluasi dan meneliti tindakannya di kelas. Ia berusaha menemukan sebab setiap masalah. Apalagi jika jumlah siswa yang bermasalah, misalnya gagal memenuhi KKM, merupakan mayoritas.

Tetapi, sekali lagi, penguasaan materi yang baik serta keterampilan mengajar bukan aspek utama yang menjadikan seseorang sebagai guru efektif. Ada aspek lain yang lebih mendasar, yakni motivasi, integritas dan komitmen. Yang disiplinnya rendah misalnya, meskipun mampu mengajar secara menarik, tetapi mereka tidak patut menjadi guru olah raga. Apalagi guru motivasi. Yang integritasnya rendah, jangan pernah mengampu pelajaran akidah-akhlak karena keduanya –akidah maupun akhlak—bukan urusan kognitif semata. Ia adalah bagian dari sikap hidup yang harus menyatu dalam setiap helaan nafas kita.

Alhasil, ada yang perlu kita perhatikan. Setiap sekolah perlu memberi perhatian serius untuk meningkatkan kemampuan guru dalam mengajar. Tetapi ini tidak cukup. Pada saat yang sama, harus ada usaha serius untuk meningkatkan secara terus-menerus kualitas pribadi setiap guru, baik berkait dengan motivasi, iman, akhlak, komitmennya terhadap agama maupun pendidikan, serta integritas pribadi. Ini semua sangat penting untuk memastikan agar setiap siswa mampu meraih sukses. Lebih-lebih untuk sekolah Islam yang telah menyatakan sikap bahwa agama ini yang menjadi ruh dari seluruh kegiatan yang ada di sekolah, peningkatan kualitas pribadi setiap guru tak dapat ditawar-tawar lagi.

Setiap wali murid juga perlu memperhatikan ini sebab di tangan para guru itulah kita serahkan masa depan anak-anak kita!

Mohammad Fauzil Adhim adalah penulis kolom Parenting Majalah Hidayatullah. Berbagai tulisan lain dapat dibaca di majalah Hidayatullah. twitter: @kupinang

(sumber : http://www.hidayatullah.com)